KONSEP
DASAR IMUNOLOGI
Dosen
Pembimbing:
Supriliyah
P, S.Kep,Ns
Nama
:
Ida
Nihayatul Afifa
NIM
:
130801025
STIKES
PEMKAB JOMBANG
Tahun
Ajaran 2013/2014
S1
KEPERAWATAN
KATA
PENGANTAR
Puji dan
Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya selaku penulis dapat menyusun makalah ini
yang berjudul " KONSEP DASAR IMUNOLOGI " tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa didalam
pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.
Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah.
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sistem Kekebalan tubuh
sangat mendasar perannya bagi kesehatan, tentunya harus di sertai dengan pola
makan yang sehat, olah raga yang cukup serta terhindar dari masuknya senyawa
beracun ke dalam tubuh. Sekali senyawa beracun hadir didalam tubuh, maka harus
segera dikeluarkan.
Kondisi sistem
kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh yang sehat terdapat
sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit
juga prima. Pada bayi yang baru lahir pembentukan sistem kekebalan tubuhnya
belum sempurna dan memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan sang ibu untuk
membantu kekebalan tubuh bayi. Semakin dewasa sistem kekebalan tubuh terbantuk
semakin sempurna. Namun pada orang lanjut usia sistem kekebalan tubuhnya secara
alami semakin menurun. Itulah sebabnya timbul penyakit degeneratif atau
penyakit penuaan.
Pola hidup modern
menuntut segala sesuatu dilakukan secara cepat dan instan. Hal ini berdampak
juga pada pola makan misalnya sarapan didalam kendaraan, makan siang serba
tergesah-gesah, dan malam karena kelelahan jadi tidak ada nafsu makan. Belum
lagi kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga dan
stres. Apabila terus berlanjut maka daya tahan tubuh akan terus menurun, lesu,
cepat lelah dan mudah terserang penyakit. Sehingga saat ini banyak orang yang
masih muda banyak yang mengidap penyakit degeneratif. Kondisi stres dan pola
hidup modern serta polusi, diet tidak seimbang dan kelelahan menurunkan daya
tahan tubuh sehingga menurunkan kecukupan antibodi. Gejala menurunnya daya
tahan tubuh seringkali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit infeksi,
penuaan dini pada usia dini.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah imunologi?
2. Apa pengertian sistem imun?
3. Apa
fungsi sistem imun?
4. Bagaimana
respon imun?
5. Apa
yang dimaksud antigen dan antibodi?
6. Apa
yang dimaksud sistem komplemen?
7. Apa
saja macam-macam imunitas?
8. Bagaimana
reaksi hipersensitivitas?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah imunologi
2. Untuk
mengetahui pengertian sistem imun
3. Untuk
mengetahui fungsi sistem imun
4. Untuk
mengetahui bagaimana respon imun
5. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud antigen dan antibodi
6. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud sistem komplemen
7. Untuk
mengetahui apa saja macam-macam imunitas
8. Untuk
mengetahui bagaimana reaksi hipersensitivitas
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Imunologi
Pada mulanya imunologi
merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari tentang respon tubuh, terutama
respon kekebalan terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546 Girolamo Fracastoro
mengajukan teori kontagoin yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat
suatu zat yang dapat memindahkan suatu penyakit dari individu ke individu yang
lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata
dan pada waktu itu belum dapat di identifikasi.
a. Edward
Jenner
Pada tahun 1798, Edward
Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara
alamiah, bila ia terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat
itu mulai di pakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana
mekanisme yang sebenarnya terjadi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru
dimulai sejak Louis Pasteur pada tahun 1880 menentukan penyebab penyakit
infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ
theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin
rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya pasteur ini merupakan dasar
perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang di bidang
imunologi yang memeberi dampak positif
pada penurunan mordibitas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
b. Robert
Koch
Pada tahun 1880, robert
koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkolosis. Dalam rangka mencari
vaksis terhadap tuberkolosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin yang
merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman
tuberkolosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantox dipakai untuk
mendiagnosis penyakit tuberkolosis pada anak. Vaksin tuberkolosis ditemukan
pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG
(Bacillus Calmette- Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya
mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup
pun dapan menginduksi kekebalan.
c. Alexander
Yersin dan Roux
Setelah Roux dan Yersin
menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan Kitasato menemukan
antitoksin difteri pada binatang tahun1890. Sejak itu dimulailah pengobatan
dengan seerrum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan
penyakit pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari
berkembang menjadi pengobatan dengan
imunoglobulin spesifik atau globulin gamma yang diperoleh dari manusia.
d. Clemens
Von Pirquet
Dua dokter anak Clemens
Vor Pirquet dai austria dan Bella Shick dari hongaria meraporkan pada tahun
1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal berasal dari kuda terkadang
menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan penyakit serum
(serum sickness). Selain itu peneliti perancis charles richet dan paul porteir
pada tahun 1901 menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan
menyuntikan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah
keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah Anafilaksis
(tanpa pencegahan). Clemens Vor Pirquet pada tahun 1906 memakai istilah reaksi
alergi untuk reaksi imunologi ini.
e. Metchnikoff
Pada tahun 1883,
Metchnikoff sebenarnaya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja
diperankan oleh faktor hormonal, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan
tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal
fungsi fagositosisnya, beliaulah yang menemukan sel makrofag.
2.2 Pengertian Sistem Imun
Sistem imun adalah
sistem perlindungan tubuh dari pengaruh luar yang dilakukan oleh sel dan organ
khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem
ini akan melindungungi tubuh dari infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan
sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan dalam tubuh
melemah, kemampuan melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan
patogen termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu dapat berrkembang dalam
tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
2.3 Fungsi Sistem Imun
Melindungi tubuh dari
infeksi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan mennghilangkan
mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, virus, parasit, jamur serta
tumor) yang masuk kedalam tubuh, menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau
rusak untuk perbaikan jaringan, menggenali sel atau jaringan yang abnormal.
Sasaran utama yaitu bakteri, patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun
utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast).
2.4 Respon Imun
Respon imun merupakan
respon yang ditimbulkan oleh sel-sel dan molekul yang menyusun sistem imunitas
setelah berhadapan dengan substansi asing (antigen). Respon imun ini juga
banyak didefinisikan sebagai respons tubuh berupa suatu urutan kejadian
yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons
ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel
limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara
kompleks. Respon imun bertanggung jawab mempertahankan kesehatan tubuh,
yaitu mempertahankan tubuh terhadap serangan sel patogen maupun sel kanker.
Respon imun terbagi menjadi dua jenis
berdasarkan mekanisme pertahanan tubuh yaitu :
a.
Respon imun spesifik : Menghancurkan senyawa asing yang sudah dikenalnya
b.
Respon imun nonspesifik : Lini pertama terhadap sel sel atipikal (sel
asing, mutan yang cedera) Mencakup : Peradangan, interferon, sel NK dan sistem
komplemen
Respon sistem imun tubuh
pasca rangsangan substansi asing (antigen) adalah munculnya sel fungsional yang
akan menyajikan antigen tersebut kepada limfosit untuk dieliminasi. Setelah itu
muncul respon imun nonspesifik dan/atau respon imun spesifik, tergantung
kondisi survival antigen
tersebut. Apabila dengan repon imun spesifik sudah bisa dieliminasi dari tubuh,
maka respon imun spesifik tidak akan terinduksi. Apabila antigen masih bisa
bertahan (survival), maka
respon imun spesifik akan terinduksi dan akan melakukan proses pemusnahan
antigen tersebut.
2.5 Antigen dan Antibodi
A. Antigen
Antigen adalah bahan yang dapat
merangsang respon imun dan dapat bereaksi dengan antibodi. Macam-macam antigen
antara lain imunogen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun dan
hapten adalah bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi. Antigen tersusun atas
epitop dan paratop. Epitop atau Determinan adalah bagian dari antigen yang
dapat mengenal/ menginduksi pembenntukan antibodi, sedangkan paratop adalah
bagian dari antibodi yang dapat mengikat epitop.
1. Jenis antigen berdasarkan determinannya:
a. Unideterminan, univalen : jenis
epitop satu dan jumlahnya satu
b. Unideterminan, multivalen : jenis
epitop satu, jumlah lebih dari satu
c. Multideterminan, munivalen : jenis
epitop lebih dari satu dan jumlahnya satu
d. Multideterminan, multivalen : jenis
epitop lebih dari satu, jumlah lebih dari satu
2.Jeni antigen berdasarkan spesifiktasnya
a. Heteroantigen → dimiliki banyak
spesies
b. Xenoantigen → dimiliki spesies
tertentu
c. Alloantigen → dimiliki satu
spesies
d. Antigen organ spesifik → dimiliki
organ tertentu
e. Autoantigen → berasal dari
tubuhnya sendiri
3. Jenis antigen berdasarkan kandungan bahan kimianya:
a. Karbohidrat merupakan
imunogenik
b. Lipid: tidak imunogenik merupakan
hapten
c. Asam nukleat merupakan antigen
yang tidak imunogenik
d. Protein merupakan imunogenik
B. Antibodi
Antibodi adalah protein serum yang
mempunyai respon imun (kekebalan) pada tubuh yang mengandung Imunoglobulin
(Ig). Ig dibentuk oleh sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak/dirangsang
oleh antigen. Macam Imunoglobulin: Ig G, Ig A, Ig M, Ig E dan Ig D.
a.Imunoglobulin G
Terbanyak dalam serum (75%). Dapat
menembus plasenta membentuk imunitas bayi sampai berumur 6 sampai dengan 9
bulan. Mempunyai sifat opsonin berhubungan erat dengan fagosit, monosit
dan makrofag. Berperan pada imunitas seluler yang dapat merusak antigen seluler
berinteraksi dengan komplemen, sel K, eosinofil dan neutrofil.
b.Imunoglobulin A
Sedikit dalam serum. Banyak
terdapat dalam saluran nafas, cerna, kemih, air mata, keringat, ludah dan
air susu. Fungsinya menetralkan toksin dan virus, mencegah kontak antara
toksin/ virus dng sel sasaran dan mengumpalkan/ mengganggu gerak kuman yang
memudahkan fagositosis.
c.Imunoglobulin M
Tidak dapat menembus plasenta,
dibentuk pertama kali oleh tubuh akibat rangsangan antigen sifilis,
rubela, toksoplasmosis. Fungsinya mencegah gerakan mikroorganisme antigen
memudahkan fagositosis dan Aglutinosis kuat terhadap antigen.
d.Imunoglobulin E
Jumlah paling sedikit dalam serum.
Mudah diikat oleh sel mastosit, basofil dan eosinofil. Kadar tinggi pada kasus:
alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, trikinosis. Proteksi terhadap invasi
parasit seperti cacing.
e.Imunoglobulin D
Sedikit ditemukan dalam sirkulasi.
Tidak dapat mengikat komplemen. Mempunyai aktifitas antibodi terhadap
makanan dan autoantigen.
2.6 Sistem Komplemen
Sistem komplemen membantu antibodi
atau sel fagositik untuk membersihkan patogen dalam tubuh. Komplemen merupakan
bagian dari sistem imun non-spesifik (innate immune system), tetapi
dapat juga berperan dalam sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat
diaktifkan kompleks imun.
Sistem
komplemen terdiri dari sejumlah protein kecil yang ditemukan dalam darah,
umumnya disintesis oleh hati, dan biasanya beredar sebagai prekursor tidak
aktif (pro-protein). Ketika dirangsang oleh salah satu dari beberapa pemicu,
protease dalam sistem memotong protein spesifik untuk melepaskan sitokin dan
memulai kaskade memperkuat pemotongan lebih lanjut. Hasil akshir dari aktivasi
kaskade ini adalah amplifikasi masif respon dan aktivasi sel-pembunuh MAC
(membrane attack complex). Lebih dari 30 protein dan fragmen protein membentuk
sistem komplemen, termasuk protein serum, protein serosal, dan reseptor membran
sel.
Ada 3 jalur komplemen yaitu jalur
klasik, jalur lektin, dan jalur alternatif. Ketiganya berbeda pada cara dimana
mereka dimulai dan akhirnya menghasilkan enzim kunci disebut C3 konvertase. Jalur
klasik, diinisiasi oleh aktivasi C1. C1 utamanya diaktivasi dengan interaksi
dengan Fc molekul antibodi IgG atau IgM setelah mereka berikatan dengan antigen
spesifik. C1 juga dapat berikatan langsung dengan permukaan beberapa patogen
dan bisa juga CRP yang diproduksi selama respon fase akut pada imunitas
nonspesifik.
a)
Jalur lektin, diaktifkan dengan interaksi karbohidrat
mikrobial (lektin) dengan MBL atau fikolin yang ditemukan pada plasma dan
cairan jaringan.
b)
Jalur alternatif, diaktifkan dengan pengikatan C3b ke
permukaan mikrobial dan molekul antibodi.
Akhir dari
ketiga jalur pada hakikatnya sama yaitu 6 manfaat fungsi pertahanan sbb:
a.
trigger inflamasi
b.
attrack secara kemotaktik fagosit ke tempat infeksi
c.
promote penempelan antigen ke fagosit (menguatkan
penempelan atau opsonisasi)
d.
menyebabkan lisis bakteri gram negatif dan sel manusia
yang menyajikan epitop asing
e.
berperan penting dalam aktivasi limfosit B naif
f.
membuang kompleks imun berbahaya dalam tubuh
2.7 Macam-macam Imunitas
Imunitas dapat dibedakan menjadi
imunitas alami dan imunitas buatan.
1. Imunitas
alami
Imunitas alami
yaitu kekebalan yang sudah dimiliki seseorang sejak lahir, misalnya kekebalan
manusia terhadap penyakit-penyakit hewan atau dikenal sebagai kekebalan spesies
walaupun ada juga penyakit hewan yang dapat menular pada manusia, misalnya
penyakit tuberkolosis dari sapi yang ditularkan melalui susu sapi, penyakit
antraks dari biri-biri dan sapi serta beberapa penyakit lainnya.
2. Imunitas
buatan
Imunitas buatan yaitu
kekebalan yang diperoleh seseorang selama hidupnya, imunitas ini dapat
dibedakan lagi menjadi imunitas aktif dan imunitas pasif. Timbulnya imunitas
aktif disebabkan oleh adanya rangsangan antigen tertentu dari kuman atau benda
asing yang masuk ke dalam tubuh secara kebetulan atau sengaja sehingga tubuh
menghasilkan antibodi tertentu pula sesuai dengan antigen yang harus dilawan.
Masuknya antigen secara kebetulan, misalnya karena terinfeksi kuman penyakit
campak, cacar air, atau gondong, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Ada
beberapa macam vaksin yang dikelompokkan berdasarkan jenis antigen yang terkandung
di dalamnya, yaitu sebagai berikut :
a. Toksoid yaitu larutan toksin diubah melalui
perlakuan-perlakuan kimia dan fisika sehingga tidak bersifat racun lagi
terhadap tubuh.
b. Bakteri atau virus yang sudah dimatikan oleh
sinar ultraungu, pemanasan, atau secara kimia, misalnya vaksin Salk pencegah
kelumpuhan pada anak-anak karena polio.
c. Bakteri atau virus yang sudah dilemahkan
sehingga hanya menimbulkan infeksi ringan dalam waktu singkat, misalnya, vaksin
cacar, tuberkolosis, antraks, dan vaksin Sabin pencegah polio.
d. Antigen yang telah dipisahkan dari kuman
penyebab penyakit tertentu, misalnya antigen yang diperoleh dari bakteri
penyakit pneumonia.
Imunitas aktif
biasanya diperoleh beberapa minggu setelah vaksinasi dan berguna sebagai tindak
pencegahan terhadap beberapa penyakit, misalnya batuk rejan (pertusis), cacar
(variola), hepatitis, polio, difteri, dan campak. Kekebalan tersebut dapat
bertahan sampai bertahun-tahun bahkan ada yang seumur hidup. Imunitas pasif
dilakukan dengan cara memasukkan antibody tertentu dalam bentuk serum, yaitu
plasma darah yang sudah tidak mengandung fibrinogen. Dalam hal ini tubuh kita
berperan aktif untuk mendapatkan kekebalan tersebut. Kekebalan yang diperoleh
dengan cara ini biasanya bersifat sementara, yaitu berkisar dari beberapa
minggu sampai beberapa bulan.
Serum yang
mengandung antibodi diperoleh dari manusia atau hewan, seperti kuda dan kelinci
yang tubuhnya telah diberi antigen dari kuman penyakit tertentu. Beberapa serum
yang telah lama dikenal, misalnya serum yang mengandung antibodi terhadap kuman
tetanus, difteri, campak, gondong, cacar, dan rabies. Imunitas pasif dapat juga
berasal dari tubuh ibu yang masuk ke tubuh fetus melalui plasenta.. Hal ini
sangat penting untuk melindungi bayi pada minggu-minggu pertama kelahiran
terhadap beberapa penyakit. Zaat antibodi dapat juga diberikan dari ibu yang
baru melahirkan melalui air susunya.
2.8 Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang
patologik, tidak normal, yang terjadi akibat respon imun yang berlebihan
terhadap suatu pajanan antigen yang sama untuk kedua kalinya, sehingga
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963)
membagi reaksi ini menjadi 4 tipe berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang
terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV.
1. TIPE I
Reaksi tipe I disebut juga reaksi
cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari 1 jam sesudah tubuh terpajan
oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan
adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang
cendrung terkena alergi (atopi). Prosesnya adalah sebagai berikut:
a. Ketika suatu alergen masuk ke dalam
tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh makrofag. Makrofag akan mempresentasikan
epitop alergen tersebut ke permukaannya, sehingga makrofag bertindak sebagai
antigen presenting cells (APC). APC akan mempresentasikan molekul MHC-II pada
Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan mediator IL-4 (interleukin-4) untuk
menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE
dan IgE ini akan berikatan di reseptor FC-εR di sel Mast/basofil di jaringan.
Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE yang
memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan basofil. Ini merupakan
mekanisme respon imun yang masih normal.
b. Namun, ketika alergen yang sama
kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang melekat di reseptor FC-εR sel
Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa sehingga membuat
semacam jembatan silang(crosslinking) antar dua IgE di permukaan
(yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini
univalen). Hal inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme biokimiawi
intraseluler secara kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil.
Degranulasi ini mengakibatkan pelepasan mediator-mediator alergik yang
terkandung di dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor kemotaktik
eosinofil, dan platelet
activating factor (PAF). Selain itu, peristiwa crosslinking tersebut
ternyata juga merangsang sel Mast untuk membentuk substansi baru lainnya,
seperti LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang
dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang menyebabkan
kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah,
peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada mukosa dan hipersekresi.
Gejala yang ditimbulkan: bisa berupa urtikaria, asma,
reaksi anafilaksis, angioedema dan alergi atopik.
2. TIPE II
Reaksi
hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau
sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada
antigen yang terdapat di
permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel
tertentu bisa berupa mikroba atau molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama
kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan
antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang
sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen
tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T
cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel
sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan
kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini
disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel, toksik=merusak,
lisis=menghancurkan).
Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu:
a. Proses sitolisis oleh sel efektor.
Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan antigen sasaran, jika dihinggapi sel
efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat di
permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat toksik
yang akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC
(Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity).
- Proses sitolisis oleh
komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran didatangi
oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang terjadinya aktivasi
komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.
- proses sitolisis oleh sel
efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b yang berikatan dengan
antibodi akan berikatan di reseptor C3 pada pemukaan sel efektor.
Hal ini akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel
efektor.
Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam
setelah terpajan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang
ditimbulkan: Reaksi transfusi, Rhesus Incompatibility, Mycoplasma pneumoniae
related cold agglutinins, Tiroiditis Hashimoto, Sindroma Goodpasture’s, Delayed
transplant graft rejection.
3. TIPE III
Reaksi
hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan antibodi
IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen
yang terlarut dalam serum.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
Seperti tipe yang lainnya, ketika
antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan
IgM yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan
IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum
membentuk ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di
salah satu tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan
ekstraseluler) sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun
akan aktif sehingga dihasilkanlah mediator-mediator inflamasi seperti
anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan
makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks
antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya
juga akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat
kerusakan dan menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam
jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya.
Contoh penyakit yang ditimbulkan: Systemic Lupus Erythematosus, Erythema
Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis,
Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.
4. TIPE IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV
berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi
akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari
12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi
hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan
asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang
dapat menembus kulit, dan lain-lain.
Ketika tubuh terpajan alergen
pertama kali, ia akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke limfonodus
regional. Disana ia akan mensensitasi sel Th untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH
yang disensitasi terpajan ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas
sitokin (berupa IFN-γ, TNF-β, IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF)
yang akan menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor
dalam reaksi hipersensitifitas. Contoh penyakit yang ditimbulkan: reaksi
tuberkulin, dermatitis kontak.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem imun adalah
sistem perlindungan tubuh dari pengaruh luar yang dilakukan oleh sel dan organ
khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem
ini akan melindungungi tubuh dari infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan
dalam tubuh melemah, kemampuan melindungi tubuh juga berkurang, sehingga
menyebabkan patogen termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu dapat
berrkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap
sel tumor dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko
terkena beberapa jenis kanker.
Sistem imun berfungsi
untuk melindungi tubuh dari infeksi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan
mennghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, virus, parasit,
jamur serta tumor) yang masuk kedalam tubuh, menghilangkan jaringan atau sel
yang mati atau rusak untuk perbaikan jaringan, menggenali sel atau jaringan
yang abnormal. Sasaran utama yaitu bakteri, patogen dan virus. Leukosit
merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast).
DAFTAR
PUSTAKA
Slamet Prawirahartono. 2004. “Sains Biologi”. Jakarta
: Bumi Aksara.
Garna Baratawidjaja Karnen dan Rengganis Iris.2009. “Imunologi Dasar edisi VIII”. Jakarta :
Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ernets, Jawetz. 1996. “Mikrobiologi Kedokteran
Edisi 20”. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1994. “Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi”.
Jakarta : Penerbit
Binarupa Aksara.
Putra ST (Ed). 1999. “Biologi Molekuler Kedokteran edisi I”. Surabaya : Airlangga
Univercity Press.
Baratawidjaja k. 2006. “Imunologi Dasar edisi VII”. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.