Tuesday 13 May 2014

Konsep Dasar Imunologi


KONSEP DASAR IMUNOLOGI
Dosen Pembimbing:
Supriliyah P, S.Kep,Ns
                                  
                                 

 Nama :

Ida Nihayatul Afifa
NIM :
130801025

STIKES PEMKAB JOMBANG
Tahun Ajaran 2013/2014
S1 KEPERAWATAN








KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga saya selaku penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul " KONSEP DASAR IMUNOLOGI " tepat pada waktunya.

     Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.

     Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah.



                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   Penyusun






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sistem Kekebalan tubuh sangat mendasar perannya bagi kesehatan, tentunya harus di sertai dengan pola makan yang sehat, olah raga yang cukup serta terhindar dari masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh. Sekali senyawa beracun hadir didalam tubuh, maka harus segera dikeluarkan.
Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh yang sehat terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga prima. Pada bayi yang baru lahir pembentukan sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna dan memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan sang ibu untuk membantu kekebalan tubuh bayi. Semakin dewasa sistem kekebalan tubuh terbantuk semakin sempurna. Namun pada orang lanjut usia sistem kekebalan tubuhnya secara alami semakin menurun. Itulah sebabnya timbul penyakit degeneratif atau penyakit penuaan.
Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan secara cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pada pola makan misalnya sarapan didalam kendaraan, makan siang serba tergesah-gesah, dan malam karena kelelahan jadi tidak ada nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga dan stres. Apabila terus berlanjut maka daya tahan tubuh akan terus menurun, lesu, cepat lelah dan mudah terserang penyakit. Sehingga saat ini banyak orang yang masih muda banyak yang mengidap penyakit degeneratif. Kondisi stres dan pola hidup modern serta polusi, diet tidak seimbang dan kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga menurunkan kecukupan antibodi. Gejala menurunnya daya tahan tubuh seringkali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan dini pada usia dini.


1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah imunologi?
2.       Apa pengertian sistem imun?
3.      Apa fungsi sistem imun?
4.      Bagaimana respon imun?
5.      Apa yang dimaksud antigen dan antibodi?
6.      Apa yang dimaksud sistem komplemen?
7.      Apa saja macam-macam imunitas?
8.      Bagaimana reaksi hipersensitivitas?


1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah imunologi
2.      Untuk mengetahui pengertian sistem imun
3.      Untuk mengetahui fungsi sistem imun
4.      Untuk mengetahui bagaimana respon imun
5.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud antigen dan antibodi
6.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud sistem komplemen
7.      Untuk mengetahui apa saja macam-macam imunitas
8.      Untuk mengetahui bagaimana reaksi hipersensitivitas








BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Imunologi
Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari tentang respon tubuh, terutama respon kekebalan terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546 Girolamo Fracastoro mengajukan teori kontagoin yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan suatu penyakit dari individu ke individu yang lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat di identifikasi.
a.       Edward Jenner
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah, bila ia terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat itu mulai di pakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai sejak Louis Pasteur pada tahun 1880 menentukan penyebab penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya pasteur ini merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang di bidang imunologi yang memeberi dampak positif  pada penurunan mordibitas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.
b.      Robert Koch
Pada tahun 1880, robert koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkolosis. Dalam rangka mencari vaksis terhadap tuberkolosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman tuberkolosis. Reaksi tuberkulin ini kemudian oleh Mantox dipakai untuk mendiagnosis penyakit tuberkolosis pada anak. Vaksin tuberkolosis ditemukan pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette- Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapan menginduksi kekebalan.
c.       Alexander Yersin dan Roux
Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang tahun1890. Sejak itu dimulailah pengobatan dengan seerrum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan penyakit pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari berkembang  menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gamma yang diperoleh dari manusia.
d.      Clemens Von Pirquet
Dua dokter anak Clemens Vor Pirquet dai austria dan Bella Shick dari hongaria meraporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti perancis charles richet dan paul porteir pada tahun 1901 menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan menyuntikan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah Anafilaksis (tanpa pencegahan). Clemens Vor Pirquet pada tahun 1906 memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini.
e.       Metchnikoff
Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnaya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak saja diperankan oleh faktor hormonal, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya, beliaulah yang menemukan sel makrofag.
2.2 Pengertian Sistem Imun
Sistem imun adalah sistem perlindungan tubuh dari pengaruh luar yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungungi tubuh dari infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan dalam tubuh melemah, kemampuan melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu dapat berrkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
2.3 Fungsi Sistem Imun
Melindungi tubuh dari infeksi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan mennghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, virus, parasit, jamur serta tumor) yang masuk kedalam tubuh, menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan jaringan, menggenali sel atau jaringan yang abnormal. Sasaran utama yaitu bakteri, patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast).
2.4 Respon Imun
Respon imun merupakan respon yang ditimbulkan oleh sel-sel dan molekul yang menyusun sistem imunitas setelah berhadapan dengan substansi asing (antigen). Respon imun ini juga banyak didefinisikan sebagai respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Respon imun bertanggung jawab mempertahankan kesehatan tubuh, yaitu mempertahankan tubuh terhadap serangan sel patogen maupun sel kanker.

Respon imun terbagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme pertahanan tubuh yaitu :
a.       Respon imun spesifik : Menghancurkan senyawa asing yang sudah dikenalnya
b.      Respon imun nonspesifik : Lini pertama terhadap sel sel atipikal (sel asing, mutan yang cedera) Mencakup : Peradangan, interferon, sel NK dan sistem komplemen

Respon sistem imun tubuh pasca rangsangan substansi asing (antigen) adalah munculnya sel fungsional yang akan menyajikan antigen tersebut kepada limfosit untuk dieliminasi. Setelah itu muncul respon imun nonspesifik dan/atau respon imun spesifik, tergantung kondisi survival antigen tersebut. Apabila dengan repon imun spesifik sudah bisa dieliminasi dari tubuh, maka respon imun spesifik tidak akan terinduksi. Apabila antigen masih bisa bertahan (survival), maka respon imun spesifik akan terinduksi dan akan melakukan proses pemusnahan antigen tersebut.

2.5 Antigen dan Antibodi
A. Antigen
Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun dan dapat bereaksi dengan antibodi. Macam-macam antigen antara lain imunogen adalah  bahan yang dapat merangsang respon imun dan hapten adalah bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi. Antigen tersusun atas epitop dan paratop. Epitop atau Determinan adalah bagian dari antigen yang dapat mengenal/ menginduksi pembenntukan antibodi, sedangkan paratop adalah bagian dari antibodi yang dapat mengikat epitop.

1. Jenis antigen berdasarkan determinannya:
a. Unideterminan, univalen : jenis epitop satu dan jumlahnya satu
b. Unideterminan, multivalen : jenis epitop satu, jumlah lebih dari satu
c. Multideterminan, munivalen : jenis epitop lebih dari satu dan jumlahnya  satu
d. Multideterminan, multivalen : jenis epitop lebih dari satu, jumlah lebih dari satu

2.Jeni antigen berdasarkan spesifiktasnya
a. Heteroantigen → dimiliki banyak spesies
b. Xenoantigen → dimiliki spesies tertentu
c. Alloantigen → dimiliki satu spesies
d. Antigen organ spesifik → dimiliki organ tertentu
e. Autoantigen → berasal dari tubuhnya sendiri

3. Jenis antigen berdasarkan kandungan bahan kimianya:
a. Karbohidrat merupakan  imunogenik
b. Lipid: tidak imunogenik merupakan hapten
c. Asam nukleat merupakan antigen yang tidak imunogenik
d. Protein merupakan imunogenik

B. Antibodi
Antibodi adalah protein serum yang mempunyai respon imun (kekebalan) pada tubuh yang mengandung Imunoglobulin (Ig). Ig dibentuk oleh sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak/dirangsang oleh antigen. Macam Imunoglobulin: Ig G, Ig A, Ig M, Ig E dan Ig D.

a.Imunoglobulin G
Terbanyak dalam serum (75%). Dapat menembus plasenta membentuk imunitas bayi sampai berumur 6 sampai dengan 9 bulan. Mempunyai sifat opsonin  berhubungan erat dengan fagosit, monosit dan makrofag. Berperan pada imunitas seluler yang dapat merusak antigen seluler  berinteraksi dengan komplemen, sel K, eosinofil dan neutrofil.
                       
b.Imunoglobulin A
Sedikit dalam serum.  Banyak terdapat dalam  saluran nafas, cerna, kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu. Fungsinya menetralkan toksin dan virus, mencegah kontak antara toksin/ virus dng sel sasaran dan mengumpalkan/ mengganggu gerak kuman yang memudahkan fagositosis.

c.Imunoglobulin M
Tidak dapat menembus plasenta, dibentuk pertama kali oleh tubuh  akibat rangsangan antigen  sifilis, rubela, toksoplasmosis. Fungsinya mencegah gerakan mikroorganisme antigen  memudahkan fagositosis dan Aglutinosis kuat terhadap antigen.

d.Imunoglobulin E
Jumlah paling sedikit dalam serum. Mudah diikat oleh sel mastosit, basofil dan eosinofil. Kadar tinggi pada kasus: alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, trikinosis. Proteksi terhadap invasi parasit seperti cacing.

e.Imunoglobulin D
Sedikit ditemukan dalam sirkulasi. Tidak dapat mengikat komplemen. Mempunyai aktifitas antibodi terhadap  makanan dan autoantigen.

2.6 Sistem Komplemen
Sistem komplemen membantu antibodi atau sel fagositik untuk membersihkan patogen dalam tubuh. Komplemen merupakan bagian dari sistem imun non-spesifik (innate immune system), tetapi dapat juga berperan dalam sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan kompleks imun.
Sistem komplemen terdiri dari sejumlah protein kecil yang ditemukan dalam darah, umumnya disintesis oleh hati, dan biasanya beredar sebagai prekursor tidak aktif (pro-protein). Ketika dirangsang oleh salah satu dari beberapa pemicu, protease dalam sistem memotong protein spesifik untuk melepaskan sitokin dan memulai kaskade memperkuat pemotongan lebih lanjut. Hasil akshir dari aktivasi kaskade ini adalah amplifikasi masif respon dan aktivasi sel-pembunuh MAC (membrane attack complex). Lebih dari 30 protein dan fragmen protein membentuk sistem komplemen, termasuk protein serum, protein serosal, dan reseptor membran sel.
Ada 3 jalur komplemen yaitu jalur klasik, jalur lektin, dan jalur alternatif. Ketiganya berbeda pada cara dimana mereka dimulai dan akhirnya menghasilkan enzim kunci disebut C3 konvertase. Jalur klasik, diinisiasi oleh aktivasi C1. C1 utamanya diaktivasi dengan interaksi dengan Fc molekul antibodi IgG atau IgM setelah mereka berikatan dengan antigen spesifik. C1 juga dapat berikatan langsung dengan permukaan beberapa patogen dan bisa juga CRP yang diproduksi selama respon fase akut pada imunitas nonspesifik.
a)      Jalur lektin, diaktifkan dengan interaksi karbohidrat mikrobial (lektin) dengan MBL atau fikolin yang ditemukan pada plasma dan cairan jaringan.
b)      Jalur alternatif, diaktifkan dengan pengikatan C3b ke permukaan mikrobial dan molekul antibodi.
Akhir dari ketiga jalur pada hakikatnya sama yaitu 6 manfaat fungsi pertahanan sbb:
a.       trigger inflamasi
b.      attrack secara kemotaktik fagosit ke tempat infeksi
c.       promote penempelan antigen ke fagosit (menguatkan penempelan atau opsonisasi)
d.      menyebabkan lisis bakteri gram negatif dan sel manusia yang menyajikan epitop asing
e.       berperan penting dalam aktivasi limfosit B naif
f.       membuang kompleks imun berbahaya dalam tubuh
2.7 Macam-macam Imunitas
Imunitas dapat dibedakan menjadi imunitas alami dan imunitas buatan.
1.      Imunitas alami
Imunitas alami yaitu kekebalan yang sudah dimiliki seseorang sejak lahir, misalnya kekebalan manusia terhadap penyakit-penyakit hewan atau dikenal sebagai kekebalan spesies walaupun ada juga penyakit hewan yang dapat menular pada manusia, misalnya penyakit tuberkolosis dari sapi yang ditularkan melalui susu sapi, penyakit antraks dari biri-biri dan sapi serta beberapa penyakit lainnya.
2.      Imunitas buatan
Imunitas buatan yaitu kekebalan yang diperoleh seseorang selama hidupnya, imunitas ini dapat dibedakan lagi menjadi imunitas aktif dan imunitas pasif. Timbulnya imunitas aktif disebabkan oleh adanya rangsangan antigen tertentu dari kuman atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh secara kebetulan atau sengaja sehingga tubuh menghasilkan antibodi tertentu pula sesuai dengan antigen yang harus dilawan. Masuknya antigen secara kebetulan, misalnya karena terinfeksi kuman penyakit campak, cacar air, atau gondong, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Ada beberapa macam vaksin yang dikelompokkan berdasarkan jenis antigen yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai berikut :
a. Toksoid yaitu larutan toksin diubah melalui perlakuan-perlakuan kimia dan fisika sehingga tidak bersifat racun lagi terhadap tubuh.
b. Bakteri atau virus yang sudah dimatikan oleh sinar ultraungu, pemanasan, atau secara kimia, misalnya vaksin Salk pencegah kelumpuhan pada anak-anak karena polio.
c. Bakteri atau virus yang sudah dilemahkan sehingga hanya menimbulkan infeksi ringan dalam waktu singkat, misalnya, vaksin cacar, tuberkolosis, antraks, dan vaksin Sabin pencegah polio.
d. Antigen yang telah dipisahkan dari kuman penyebab penyakit tertentu, misalnya antigen yang diperoleh dari bakteri penyakit pneumonia.
Imunitas aktif biasanya diperoleh beberapa minggu setelah vaksinasi dan berguna sebagai tindak pencegahan terhadap beberapa penyakit, misalnya batuk rejan (pertusis), cacar (variola), hepatitis, polio, difteri, dan campak. Kekebalan tersebut dapat bertahan sampai bertahun-tahun bahkan ada yang seumur hidup. Imunitas pasif dilakukan dengan cara memasukkan antibody tertentu dalam bentuk serum, yaitu plasma darah yang sudah tidak mengandung fibrinogen. Dalam hal ini tubuh kita berperan aktif untuk mendapatkan kekebalan tersebut. Kekebalan yang diperoleh dengan cara ini biasanya bersifat sementara, yaitu berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Serum yang mengandung antibodi diperoleh dari manusia atau hewan, seperti kuda dan kelinci yang tubuhnya telah diberi antigen dari kuman penyakit tertentu. Beberapa serum yang telah lama dikenal, misalnya serum yang mengandung antibodi terhadap kuman tetanus, difteri, campak, gondong, cacar, dan rabies. Imunitas pasif dapat juga berasal dari tubuh ibu yang masuk ke tubuh fetus melalui plasenta.. Hal ini sangat penting untuk melindungi bayi pada minggu-minggu pertama kelahiran terhadap beberapa penyakit. Zaat antibodi dapat juga diberikan dari ibu yang baru melahirkan melalui air susunya.
2.8 Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, tidak normal, yang terjadi akibat respon imun yang berlebihan terhadap suatu pajanan antigen yang sama untuk kedua kalinya, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) membagi reaksi ini menjadi 4 tipe berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV.
1. TIPE I
Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari 1 jam sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang cendrung terkena alergi (atopi). Prosesnya adalah sebagai berikut:
a.       Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke permukaannya, sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC). APC akan mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasi sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini akan berikatan di reseptor FC-εR di sel Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih normal.
b.      Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang melekat di reseptor FC-εR sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa sehingga membuat semacam jembatan silang(crosslinking) antar dua IgE di permukaan (yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen). Hal inilah yang akan menginduksi serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler secara kaskade, sehingga terjadi granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini mengakibatkan pelepasan mediator-mediator alergik yang terkandung di dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor kemotaktik eosinofil, dan platelet activating factor (PAF). Selain itu, peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel Mast untuk membentuk substansi baru lainnya, seperti LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi otot polos, bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada mukosa dan hipersekresi.

Gejala yang ditimbulkan: bisa berupa urtikaria, asma, reaksi anafilaksis, angioedema dan alergi atopik.
2. TIPE II
Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat di permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel, toksik=merusak, lisis=menghancurkan).
Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu:
a.       Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat toksik yang akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity).
  1. Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang terjadinya aktivasi komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.
  2. proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b yang berikatan dengan antibodi akan berikatan di reseptor C3 pada pemukaan sel efektor.

Hal ini akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.
Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah terpajan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang ditimbulkan: Reaksi transfusi, Rhesus Incompatibility, Mycoplasma pneumoniae related cold agglutinins, Tiroiditis Hashimoto, Sindroma Goodpasture’s, Delayed transplant graft rejection.
3. TIPE III
Reaksi hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen yang terlarut dalam serum.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan IgM yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum membentuk ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga dihasilkanlah mediator-mediator inflamasi seperti anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya juga akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat kerusakan dan menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang ditimbulkan: Systemic Lupus Erythematosus, Erythema Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis, Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.
4.      TIPE IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari 12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.
Ketika tubuh terpajan alergen pertama kali, ia akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke limfonodus regional. Disana ia akan mensensitasi sel Th untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH yang disensitasi terpajan ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas sitokin (berupa IFN-γ, TNF-β, IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF) yang akan menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitifitas. Contoh penyakit yang ditimbulkan: reaksi tuberkulin, dermatitis kontak.





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem imun adalah sistem perlindungan tubuh dari pengaruh luar yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungungi tubuh dari infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan dalam tubuh melemah, kemampuan melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu dapat berrkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
Sistem imun berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan mennghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, virus, parasit, jamur serta tumor) yang masuk kedalam tubuh, menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan jaringan, menggenali sel atau jaringan yang abnormal. Sasaran utama yaitu bakteri, patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mast).









DAFTAR PUSTAKA

Slamet Prawirahartono. 2004. “Sains Biologi”. Jakarta : Bumi Aksara.

Garna Baratawidjaja Karnen dan Rengganis Iris.2009. “Imunologi Dasar edisi VIII”. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ernets, Jawetz. 1996. “Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20”. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994. “Buku Ajar  Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi”. Jakarta Penerbit Binarupa Aksara.

Putra ST (Ed). 1999. “Biologi Molekuler Kedokteran edisi I”. Surabaya : Airlangga Univercity Press.

Baratawidjaja k. 2006. “Imunologi Dasar edisi VII”. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3 comments: